Powered By Blogger

Jumat, 28 Januari 2011

Spiritual Yang Tandus Dalam Diri Seorang Pendeta

Sejak kacil saya sangat membanggakan figur seorang pendeta. Saya selalu terkesan saat melihat sang pendeta berdiri di atas Mimbar dengan jubahnya hitamnya dan berbicara dengan suara layaknya seorang yang bijaksana sambil memberitakan Firman Tuhan. Sosok seorang pendeta menjadi Publik Figur dalam jemaat yang dilayaninya. Setiap Ucapannya selalu dianggap benar oleh karena dia memiliki Predikat sebagai Hamba Tuhan, jemaatpun sangat antusias untuk bisa berjabat tangan dengan seorang pendeta ketika selesai beribadah minggu di gereja. Wah..!!! alangkah membanggakan jika saya bisa menjadi pendeta nantinya...(semoga):), tapi saya pun sempat bertanya dalam diriku apakah dengan menjadi seorang pendeta lantas kita akan menjadi Pribadi yang sempurna?....
Karena Kasih Allah, saya boleh mempelajari Ilmu Teologi, Ilmu Pengetahuan yang di pelajari oleh kebanyakan orang yang ingin menjadi Pendeta, Saya bergaul dengan banyak teman yang datang dengan berbagai macam latar belakang, beragam tradisi, beragam karakter yang saya temui dan saya menyerap banyak pengalaman dari mereka. Motivasi untuk menjadi seorang Pendeta pun berbeda-beda, ada yang mengaku ingin menjadi pendeta karena hanya ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia bisa menjadi seorang pendeta, ada yang berkeinginan menjadi pendeta dengan alasan untuk menggantikan ayahnya yng juga pendeta (emeritus), ada yang bilang ingin menjadi pendeta supaya bisa dihargai dalam masyarakat karena latar belakang hidupnya yang menurut dia tidak dihargai dalam masyarakat. Motivasi-motivasi itu, membuat saya bertanya lagi apakah tujuan kita menjadi seorang pendeta hanya sebatas untuk membanggakan diri dan untuk memperbaiki status kehidupan kita di dalam masyarakat? lalu bagaimana dengan Motivasi untuk menjadi pendeta karena benar-benar ingin melayani jemaat Tuhan.
Saya sangat berani mengatakan bahwa Mentalitas pendeta-pendeta sekarang ini tidak ada lagi mentalitas melayani, banyak pendeta yang menjadi terobsesi dengan kekuasaan dan Kehormatan (GILA Kuasa dan GILA Hormat). Kenyataanya, banyak pendeta yang kemudian terjun di dunia Politik, ada pula yang terobsesi dengan kedudukan di BPH sinode. Banyak hal dapat kita lihat secara nyata dalam kahidupan sekarang ini. kalo itu yang terjadi, lantas yang Apa yang di pahami dari Ilmu Teologi yang dipelajari oleh seorang pendeta seperti yang seperti saya gambarkan di atas. Apakah dengan mempelajari Ilmu Teologi kemudian spiritualitas kita pun menjadi menjadi tandus? bukankan dengan Pengetahuan Teologi justru seharusnya menyuburkan Spiritualitas kita.
Kita harus mengakui bahwa telah terjadi pergeseran dalam memahami jabatan seorang pendeta. melayani Allah dan orang lain, Pengetahuan Teologi yang cerdas, pengetahuan tentang Alkitab, ketrampilan berkhotbah yang mengesankan. seluruh kompetensi ini sangat cukup untuk menentukan eksistensi Kependetaan seorang pendeta. namun ketika dalam melayani (berkhotbah, berdoa, pendampingan pastoral) dan seorang pendeta tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya memberi efek yang baik dalam kehidupan jemaat, itu menandakan bahwa sang pendeta sementara mengalami ketandusan Sipritual.
Yang dapat menolong seorang pendeta untuk menyuburkan kembali Spiritualnya yang gersang adalah dirinya sendiri. dan saya mengajuka satu kata YAKIN dengan apa yang di doakan dan Khotbahkan, YAKIN bahwa proses pendampingan yang dilakukan mampu untuk memulihkan kehidupan Jemaat.

SEMOGA TULISAN INI MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA DALAM MENJALANKAN TUGAS PELAYANAN KITA SEBAGAI ORANG-ORANG YANG TELAH DI SEBUT PENDETA ATAUPUN AKAN DI SEBUT PENDETA.
GBU ALL.......!!!

Originalitas Budaya Orang Ambon

Ide ini terbesit dalam pikiran saya ketika duduk bersama teman-teman di tempat kost, dan seorang teman yang berasal dari Nabire Papua dan dalam komunikasinya dengan kerabatnya di kampung dan dia menggunakan bahasa daerahnya yang jika kita dengar sangat minim huruf vokalnya hehehhehe... sedikit berkelakar tentang bahasa yang digunakan Mecky (nama teman sayang yang orang Nabire itu) saya kemudian melontarkan sebuah pertanyaan "Kenapa Orang (anak-anak daerah) Ambon tidak pernah menggunakan bahasa "Ibu" atau bahasa asli daerah. pertanyaan itu pun langsung di sambut oleh Pdt. Gerald Akerina, S.Si Teol tukasnya " itu karena dalam perjalanan sejarah orang ambon terlalu terpengaruh dengan budaya orang Belanda". Dan saya pun setuju dengan pendapatnya beberapa fakta yang saya temukan dalam penelusuran sejarah Maluku, nampak bahwa terjadi pembagian kelas dalam strata masyakatnya jika dilihat dari aspek Linguitas yaitu orang yang bisa berbahasa Belanda ditempatkan pada kelas pertama, sedangkan orang yang hanya bisa berbahasa Ibu justru ditempatkan pada posisi nomor dua atau ke sekianlah... saya melihat hal ini justru sebagai suatu kesalahan yang tidak disadari oleh orang Ambon sendiri {ironis ya??!! :( }. Orang BELANDA yang datang menjajah Indonesia kemudian lebih banyak menggunakan orang Pribumi di Maluku untuk menjadi Klereck/Soldadu (serdadu) dan otomatis mereka harus menguasai bahasa Belanda.
Diskriminasi yang di lakoni oleh orang Belanda terhadap mereka yang menggunakan bahasa Ibu justru telah mengikis perlahan-lahan jati diri orang ambon tidak hanya saja dari Aspek Linguitas tetapi juga dalam banyak seperti tarian dan cara hidup.
Saya berani mengatakan bahwa Originalitas/kemurnian Budaya Orang Ambon sangat di pertanyakan. Kita lihat Tarian Katreji dan Dansa Ola-ola misalnya, itu semua adalah tarian yang di adopsi dari tarian Eropa dan orang Ambon sangat bangga untuk memperkenalkannya sebagai Tarian budaya orang Ambon. padahal originalitasnya jauh di bawah Tarian Bambu Gila, Cakalele, dan Tarian Sawat.
Pengaruh budaya orang Eropa yang sangat kental melekat pada orang Ambon dan itu terbawa-bawa hingga kehidupan sekarang dari Orang Ambon yang AMTENARISME (Sikap hidup yang Gengsi untuk melakukan Pekerjaan yang biasa di lakukan orang di bawah kastanya)
Menengok kembali Realitas kehidupan yang dijalani orang ambon berkaitang dengan Amtenarisme. kebanyakan yang berjualan ikan dan sayur di Pasar adalah orang yang berasal dari Jazirah Leihitu, yang justru lebih kental dalam penggunaan bahasa IBU Pulau Ambon dan sangat kental Budaya Pulau Ambonnya dari pada orang yang tinggal di Kota Ambon. Saya sangat Sepakat jika dalam penelusuran kembali Bahasa asli Pulau Ambon dimulai dari mereka (orang jazirah Leihitu) dan untuk melihat hal itu perlu sejenak melupakan pengaruh nuansa keagamaan dan mari kita lebih fokus pada nilai budayanya. disitulah kita akan menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon. setelah kita menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon, tugas selanjutnya adalah meneruskannya pada Generasi selanjutnya. dan kita bisa memulainya dengan pengajaran untuk menguasai bahasa asli.
Ketika kita bisa mengenal budaya kita disitulah kita menemukan jati diri kita secara murni. Selanjutnya dengan kemurnian Originalitas budaya yang kita miliki, barulah kita boleh berbangga dengan Label sebagai Nona Ambon atau Nyong Ambon.

Tulisan Ini hanya sebatas Ide yang Penulis Tuangkan dalam Blog ini, tentunya sangat di harapkan ada pemikiran lain serta Literatur yang berkaitan dengan Ide ini, yang bisa di sarankan untuk pengembangan pemikiran ini. GBU.. :)

Rabu, 19 Januari 2011

KESADARAN ETIS

Etika juga harus memanfaatkan temuan-temuan dari ilmu-ilmu lain. Seorang Psikolog termahsyur Lawrence Kohlberg menemukan bahwa kesadaran etis manusia bertumbuh menurut 6 jenjang dari satu jenjang ke jenjang lain, Kohlberg melihat sikap manusia yang semakin terbuka pada sekitarnya. Semakin dewasa pertumbuhan kesadaran etis seseorang semakin terbuka ia pada orang-orang lain. Kohlberg membagi jenjang kesadaran etis dengan menggunakan istilah moral dalam 3 tahapan besar yaitu :
Moralitas Pra Konvensional : Kekanak-kanakan
Hidup bermasyarakat adalah hidup yang diatur oleh kesepakatan-kesepakatan umum mengenai apa yang boleh dan tidak dilakukan. Di dalam tahapan moral Konvensional, biasanya pada orang-orang dewasa, orang-orang mematuhi kesepakatan-kesepakatan itu dengan rela dan sadar. Artinya karena mereka dengan menyadari bahwa kesepakatan-kesepakatan itu benar dan baik. Jenjang pertama, adalah kesadaran yang berorientasi pada “hukuman” contohnya seorang anak yang yang tidak mencuri karena takut di hukum. Tindakan yang dilakukan bukan berdasarkan “baik atau buruk” tetapi karena “hukuman” Jenjang Kedua, pada jenjang ini tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tetapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi buta, orang sudah mulai menghitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang kedua ini adalah bagaimana mendapatkan kesenangan sebanyakbanyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seseorang adalah instrument untuk mendapat tujuan di atas. Jenjang ini sudah lebih maju dari yang pertama kesadaran beragama pada tahap ini juga telah berkembang.

Moralitas Konvensional : Orang Tua
Pada moralitas yang konvensioanal, titik pusatnya adalah diri sendiri, cakrawala pemikiran seseorang sudah lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang lain. Jenjang Ketiga, anak-anak telah bertumbuh dengan sadar berusaha menjadi anak-anak yang baik atau menurut istilah yang lebih lazim “anak-anak baik”. Mereka berusaha melakukan apa yang dikatakan kepada mereka. Berusaha sedapatnya untuk memenuhi harapan masyarakat di sekitarnya, dan berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak melakukan apa yang dilarang. Jenjang ini lebih terarah pada bagaimana menyenangkan orang lain, apa yang baik dan benar ditetapkan oleh orang lain. Jenjang Keempat, berorientasi pada hukum yang bersifat objektif. Karena hukum itu berlaku secara universal maka orang yang bersangkutan akan menghargai dan memperhitungkan hak serta kepentingan bukan saja orang-orang yang ada di kelompoknya tetapi juga orang-orang yang tidak dikenalnya.


Moralitas Purna Konvensional : Dewasa
Menurut Kohlberg, jenjang keempat belumlah merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang dibandingkan dengan moralitas pra konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional memiliki cakrawala yang jauh lebih luas, bahkan pada jenjang yang keempat cakrawala berpikir lebih universal. Tetapi belum universal dalam arti sesungguhnya. Moralitas purna konvensional atau moralitas yang dewasa artinya moralitas yang tidak lagi tergantung pada factor dari luar, buan orang lain atau kelompoklah yang harus mengambil keputusan tentang apa yang baik dan benar melainkan diri sendiri. Jenjnag Kelima, pada jenjang ini orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya adalah kesepakatan-kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh sebab itu kesepakatan antara manusia pula yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang dianggap kudus yang tidak dapat diubah. Jenjang Keenam, menurut Kohlberg pada jenjang keenam inilah perkembangan moral seseorang mencapi puncaknya yaitu moralitas yang pantang mengkhianati hati nurani dan keyakinan tentang apa yang benar dan baik.

Refleksi, Pembahasan mengenai Kohlberg ini sangat penting yakni ketika kita berada pada awal perjalanan kita. Ia mengingatkan supaya kita tidak gegabah dan terlalu cepa menilai moralitas orang lain. Teori Kohlberg justru sangat bermanfaat untuk kita menilai diri kita sendiri. Secara tidak langsung Kohlberg telah berbicara tentang sikap etis yang amat penting tetapi yang sangat sering terlupakan. Yaitu pertama kita harus berusaha memahanmi sesuatu sedalam-dalamnya, sebelum menilai. Kedua, prinsip-prinsip etis yang kita yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita sebelum diterapkan kepada orang lain.

semoga kajian singkat di atas dapat menjadi bahan refleksi bagi kita. GBU